Ketika seseorang memiliki luka di tubuhnya, hal ini dapat menimbulkan pertanyaan tentang keabsahan bersuci — baik dalam wudhu maupun mandi wajib. Jika lukanya ringan dan tidak dibalut apa pun, maka tata cara bersucinya sama seperti biasanya, yaitu dengan membasuh seluruh bagian tubuh yang wajib dibasuh, termasuk bagian yang luka.
Namun, jika luka tersebut ditutup menggunakan plester luka dengan maksud untuk menjaga kebersihan atau mempercepat penyembuhan, maka wajib bagi orang tersebut melepas plesternya dan membersihkan bekas perekatnya agar air bisa mengenai kulit yang menjadi bagian wajib dalam wudhu. Hal ini karena air harus sampai ke kulit untuk sahnya basuhan. Biasanya luka ringan seperti ini tidak menimbulkan bahaya apabila plester dilepas.
Ketentuan ini sesuai dengan penjelasan ulama dalam kitab al-Bayan fi Madzhab al-Imam as-Syafi‘i karya Syekh Yahya bin Abi al-Khair bin Salim al-Yamani, beliau menjelaskan:
فَإِذَا وَضَعَ الْجَبِيرَةَ، ثُمَّ أَرَادَ الْغُسْلَ أَوْ الْوُضُوءَ، فَإِنْ كَانَ لَا يَخَافُ مِنْ نَزْعِهَا ضَرَرًا نَزَعَهَا وَغَسَلَ مَا يَقْدِرُ عَلَيْهِ مِن ذَلِكَ، وَتَيَمَّمَ عَمَّا لَا يَقْدِرُ عَلَيْهِ
“Ketika seseorang membalut lukanya dengan perban lalu hendak berwudhu atau mandi wajib, maka jika ia tidak khawatir adanya bahaya ketika perban itu dilepas, wajib baginya untuk melepasnya dan membasuh bagian yang bisa dibasuh. Namun jika dikhawatirkan akan timbul bahaya, maka ia wajib bertayammum untuk bagian yang tidak bisa dibasuh.”
(al-Bayan fi Madzhab al-Imam as-Syafi‘i, juz 1, hlm. 331)
Adapun jika lukanya cukup parah — misalnya diperban tebal atau digips — maka tidak wajib melepas perban atau gips tersebut, apabila ada kekhawatiran bahwa hal itu dapat memperparah kondisi luka. Kekhawatiran yang dimaksud mencakup:
1. Hilangnya nyawa,
2. Rusaknya fungsi anggota tubuh,
3. Lambatnya penyembuhan luka, atau
4. Bertambah parahnya luka.
Masih dalam kitab yang sama, Syekh Yahya menegaskan:
إِنْ خَافَ مِنْ نَزْعِهَا تَلَفَ النَّفْسِ، أَوْ تَلَفَ عُضْوٍ، أَوْ إِبْطَاءَ الْبُرْءِ، أَوِ الزَّيَادَةَ فِي الْأَلَمِ… لَمْ يَلْزَمْهُ حَلُّهَا، وَلَزِمَهُ غَسْلُ مَا جَاوَزَ مَوْضِعَ الشَّدِّ، وَالْمَسْحُ عَلَى الْجَبِيرَةِ
“Apabila dikhawatirkan dengan melepas perban akan menyebabkan kerusakan tubuh, memperlambat penyembuhan, atau menambah rasa sakit, maka tidak wajib melepasnya. Ia wajib membasuh bagian tubuh di luar perban dan mengusap bagian atas perban tersebut.”
(al-Bayan fi Madzhab al-Imam as-Syafi‘i, juz 1, hlm. 331)
Dengan demikian, hukum melepas plester atau perban saat berwudhu bergantung pada kondisi lukanya:
Jika tidak berbahaya terkena air, maka wajib melepas plester dan membasuh luka.
Jika berbahaya bila terkena air, maka tidak wajib melepas plester, cukup mengusap bagian luar plester atau perban dan tayammum untuk menggantikan bagian luka yang tidak bisa dibasuh.
Prinsip ini sejalan dengan kaidah fiqh:
الضَّرَرُ يُزَالُ
“Segala bentuk bahaya harus dihilangkan.”
(al-Asybah wa an-Nazhair, Imam as-Suyuthi)
Serta didukung oleh firman Allah Ta‘ala:
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”
(QS. Al-Baqarah: 286)
Kesimpulan:
Jika luka aman terkena air, maka plester wajib dilepas dan bagian luka dibasuh. Namun jika luka berpotensi menimbulkan bahaya bila terkena air, maka plester atau perban boleh tetap digunakan, cukup diusap bagian luarnya, dan tayammum dilakukan sebagai pengganti basuhan.
Wallahu a‘lam.
Kontributor: Ustadz Opik Taopikoruhman – Area Spiritual




